Pagi ini ketika saya sedang menunggu KRL berangkat, saya melihat-lihat Twitter dan membaca sebuah berita bahwa salah seorang kolega lama saya ketika liputan politik, pak Hasto Kristiyanto, akan dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kenapa Hasto jadi tersangka?
Well, penetapan Hasto menjadi tersangka itu ya terkait dengan kasus dugaan suap yang melibatkan Harun Masiku, seorang politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Harun menjadi terkenal setelah terlibat dalam skandal suap terkait dengan proses Pergantian Antarwaktu (PAW) anggota DPR pada 2020.
Dia diduga memberikan suap agar PAW yang melibatkan dirinya sebagai calon pengganti anggota DPR dari PDIP dapat diloloskan.
Hasto sendiri diduga terlibat dalam proses suap yang dilakukan oleh Harun Masiku agar PAW tersebut berhasil.
Sampai saat ini Harun masih berstatus buron.
Table of Contents
Pak Hasto, Jiu Jitsu dan Politik
Pak Hasto selama ini dikenal publik sebagai sekretaris jenderal PDI-P.
Akan tetapi banyak orang yang tidak tahu bahwa dia juga adalah seorang pengurus cabor jiu jitsu dengan posisinya sebagai Dewan Pembina Pengurus Besar Jiu Jitsu Indonesia (PBJI).
Saya sendiri kurang tahu lebih banyak sejauh apa keterlibatan pak Hasto di dunia jiu jitsu karena memang ada semacam “jarak” antara PBJI, yang lebih fokus ke jiu jitsu tradisional Jepang, dengan klub-klub Brazilian jiu jitsu (BJJ).
Apakah Hasto seorang praktisi juga?
Apa dia punya belt rank?
Atau dia punya sumbangsih logistik yang signifikan ke dunia jiu jitsu di Indonesia?
Yang jelas dia pernah mencoba menjelaskan relevansi jiu jitsu dan politik ketika beliau berpidato di sebuah kompetisi jiu jitsu di tahun 2022.
Dalam pidatonya, Hasto berkata:
“Jiu jitsu tak hanya mengajarkan kedisiplinan, semangat pantang menyerah, dan dalam pertandingan tadi kita lihat bagaimana spirit itu muncul bahkan dalam salah satu seni bela diri yang ditampilkan, terlihat para atlet jujitsu mampu menggunakan energi dari lawan kemudian mengunci serangan lawan itu,”
“Kalau kita menggunakan energi persaingan itu sebagaimana kami analogikan dengan jujitsu yang mampu melihat kelemahan serangan lawan dan bahkan menggunakannya untuk mengunci balik serangan tersebut, maka kita pun bisa gunakan jurus nasional kita untuk mengunci kekuatan lawan dalam persaingan global dengan negara lain. Ini luar biasa filosofinya,”
Well, apa yang coba digambarkan pak Hasto hanya menggambarkan sebagian kecil dari relevansi jiu jitsu ke politik.
Pak Hasto sepertinya lebih menekankan jiu jitsu sebagai alat penaklukan lawan dan ya sebenarnya tidak salah juga karena politik pun memang tentang kalah dan menang, yang dikuasai dan penguasa.
Akan tetapi, jiu jitsu jangan dipandang sebagai sebuah senjata atau alat menaklukkan saja. Dalam konteks politik, banyak hal lain yang bisa dipelajari politisi dari berlatih jiu jitsu.
Jiu Jitsu Sebagai Marketplace of Ideas
Salah satu hal yang membuat jiu jitsu dan style bela diri yang sering dipelajari oleh petarung mixed martial arts (MMA) terus berkembang dan relevan adalah mindset dari para praktisi-praktisinya untuk bertukar ide, teknik dan pengalaman tanpa ada ketakutan atau paranoia berlebihan.
Banyak style “bela diri tradisional” yang akhirnya tergerus jaman karena mental praktisi-praktisinya yang ingin menjaga kerahasiaan teknik mereka serta gengsi tidak mau belajar dari disiplin ilmu lain.
Buat para praktisi tradisional ini, cara dan teknik mereka adalah yang paling benar walaupun mungkin sebagian besar belum pernah diuji melawan orang-orang di luar perkumpulannya.
Praktisi jiu jitsu, dan beberapa style lain yang terbuka pikirannya, selalu berusaha menguji teknik-tekniknya dan bilamana perlu, belajar dari praktisi lain.
Jadi intinya, instead of bermental kompetitif dan adu gengsi, di dalam kultur gym jiu jitsu yang sehat sangat ditekankan untuk mengesampingkan ego dan saling berkolaborasi untuk menaikkan taraf kemampuan semua praktisi secara kolektif.
Buat lebih jelasnya bisa dilihat perbincangan saya dengan Prof. Deddy Wigraha di atas atau baca penjelasan di bawah ini:
Pada waktu saya baru menjadi blue belt, salah satu serangan saya yang paling bagus adalah straight foot lock.
Straight foot lock saya punya rate cukup bagus ketika berhadapan sparring dengan para white belt yang baru.
Akan tetapi, karena saya keseringan pakai teknik itu, anak-anak baru itu pun bertanya kepada saya bagaimana cara melakukan dan bertahan ketika kaki mereka diserang.
Saya pun menjelaskan kepada mereka dan gak sampai hitungan minggu, persentase sukses straight foot lock saya jauh berkurang sampai-sampai saya merasa frustrasi dan rasanya ingin membuang sabuk biru saya kembali ke sabuk putih.
Akan tetapi, saya kemudian berusaha mempelajari teknik-teknik lain dari senior-senior saya agar game saya berkembang.
Ketika game saya berkembang, kembali anak-anak baru pun bertanya apa yang saya lakukan dan saya jelaskan. Mereka jadi jago lagi dan saya harus terus menerus mengembangkan skill saya agar tidak tertinggal dan bahkan saya tidak gengsi untuk bertanya ke orang-orang yang notabene lebih junior tapi punya teknik tertentu yang lebih tajam daripada saya.
Do you see where am I going with this?
Dalam sebuah tim jiu jitsu yang sehat, setiap orang akan saling berusaha empowering satu sama lainnya sehingga pada akhirnya secara kolektif, kualitas seluruh tim akan terangkat.
Dalam konteks bermasyarakat dan berpolitik, rasa-rasanya memandang segala sesuatu sebagai objek penaklukkan lama kelamaan akan basi dan tidak relevan.
Di era yang sudah saling terkoneksi seperti sekarang, kemampuan untuk bisa berkolaborasi itu wajib agar semua pihak dan masyarakat bisa maju.
Tapi dalam realitanya, dalam kolaborasi, apalagi antara sesama politisi atau antar negara, pasti ada tipu-tipu dan tikam menikam dari belakang.
Hal ini yang akan membawa kita ke aspek lain relevansi jiu jitsu dan politik, yaitu….
Jiu Jitsu Melatih Kewaspadaan Terhadap Tipu Muslihat
Dalam politik, selalu ada dialog antara para aktornya untuk melakukan tawar menawar dan membangun kesepakatan.
Kesepakatan yang sudah ada, sering terjadi, ujung-ujungnya akan dilanggar oleh salah satu atau bahkan semua pihak.
Ada istilah pembenarannya yaitu “politicians do not lie, they just don’t tell the whole truth”.
Well, dalam bahasa awam ya tetap saja artinya tipu-tipu dan ini adalah bagian tak terpisahkan dari perpolitikan.
Di dalam jiu jitsu, dinamika ini bisa ditemukan dalam sparring atau rolling atau istilah jepangnya yaitu randori.
Ketika dua orang praktisi melakukan sparring, masing-masing dari mereka punya agenda sendiri-sendiri, sama layaknya dengan politisi.
Untuk meloloskan agendanya, kedua praktisi akan saling adu taktik dan bahkan kalau perlu tipu muslihat agar lawannya terjebak.
Contohnya, kalau ada praktisi level tinggi dengan sengaja membiarkan kerah lehernya dicengkeram, ada kemungkinan dia sedang memancing lawannya agar masuk ke perangkap wristlock-nya.
Tapi lawannya, kalau berpengalaman juga, kemungkinan bisa melihat potensi perangkap ini dan dia sudah menyiapkan skenario berikutnya untuk menjebak lawannya.
Semakin sering sparring, semakin terlatih kewaspadaan seorang praktisi untuk melihat udang di balik batu.
Dalam dunia politik dan bermasyarakat, semakin sering kita berhadapan dengan manusia-manusia politik yang manipulatif, semakin waspada juga kita terhadap kemungkinan dibohongi dan sudah tidak kagetan lagi ketika melihat watak dan stance seseorang bisa berubah 180 derajat.
Dari yang dulu mengkutuk keras kekejaman Orba sekarang berbalik menjadi pendukung setia, sebagai contoh.
Jiu Jitsu dan Aksi-Reaksi
Salah satu hal yang wajib dikuasai ketika kita ingin berhasil mewujudkan agenda kita ketika sparring jiu jitsu adalah kemampuan untuk mentrigger dan mengeksploitasi prinsi aksi-reaksi.
Seperti kita ketahui hukumnya adalah ketika ada aksi, maka pasti ada reaksi.
Jadi ketika kita melakukan sebuah gerakan teknik dalam sparring itu yang kita pikirkan bukanlah kita akan langsung berhasil tapi kita sudah memprediksi sebelumnya reaksi lawan kita akan seperti apa dan dari situ kita bisa eksploitasi mereka untuk meng-goal-kan agenda kita.
Dalam konteks berpolitik, politisi-politisi yang sudah matang dan malang melintang makan asam garam pasti jago menyembunyikan agenda mereka sebenarnya itu apaan baik kepada kolega maupun lawan-lawan politiknya.
Mereka akan berkata sesuatu untuk memancing reaksi dan mereka sudah menyiapkan beberapa skenario lanjutan berbeda untuk reaksi-reaksi yang berbeda pula.
Jadi ya Pada Akhirnya....
Jiu jitsu dan politik memang punya banyak sisi yang saling berhubungan, dan seperti yang sudah dibahas, banyak hal yang bisa dipelajari dari keduanya.
Jiu jitsu bukan cuma soal menang atau kalah, tapi juga soal strategi, kewaspadaan, dan bagaimana kita bisa menggunakan situasi untuk keuntungan kita.
Sama seperti politik, di mana sering ada tarik ulur, negosiasi, bahkan manipulasi untuk mencapai tujuan tertentu.
Tiap orang bisa punya tafsiran yang berbeda tentang hubungan antara jiu jitsu dan politik ini, dan ini semua tergantung dari sudut pandang masing-masing.
- Ingin Jadi Atlet MMA? Fokus Di Grappling Dulu - December 27, 2024
- Hasto Kristiyanto, Jiu Jitsu dan Politik - December 24, 2024
- Kenapa Pendidikan Baku Hantam Sejak Usia Dini Bagus Untuk Demokrasi - December 20, 2024