Kenapa Pendidikan Baku Hantam Sejak Usia Dini Bagus Untuk Demokrasi

Kenapa Pendidikan Baku Hantam Sejak Usia Dini Bagus Untuk Demokrasi

Kita sering melihat ungkapan “Tuhan menciptakan dua tangan buat apa lagi kalau bukan buat baku hantam” ketika di media sosial terjadi perdebatan yang sangat panas.

Walaupun kesannya bercanda, saya pribadi berpendapat bahwa memiliki kemampuan baku hantam pada dasarnya adalah baik untuk demokrasi yang lebih maju.

Ya, saya mungkin bias karena saya adalah seorang praktisi dan juga pelatih salah satu cabang ilmu baku hantam dan mungkin pendapat saya ini juga didasari oleh keinginan untuk mempromosikan dunia yang sangat saya cintai ini.

Tapi ijinkan saya memaparkan di dalam artikel ini memaparkan bagaimana ketidakmampuan mayoritas warga negara untuk membela diri secara fisik berkorelasi langsung dengan kerentanan mereka terhadap berbagai bentuk penindasan dan penyalahgunaan kekuasaan.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan untuk baku hantam atau membela diri senantiasa menjadi salah satu fondasi utama pembentukan dan konsolidasi kekuasaan.

Para jawara ternama tidak jarang menjadi cikal bakal dinasti politik yang masih berpengaruh hingga era modern.

Di Jawa Barat, misalnya, beberapa keluarga besar yang saat ini masih memegang kendali politik dapat dilacak asal-usulnya pada perguruan silat ataupun jawara-jawara yang memiliki pengaruh besar di dunia baku hantam jalanan.

Fenomena serupa dapat ditemui di berbagai wilayah Indonesia, dari Sumatera hingga Sulawesi, di mana kekuatan politik lokal seringkali berakar pada tradisi persilatan.

Bagaimana kekuatan bela diri bisa menjadi modal politik untuk berkuasa adalah dengan melalui tiga faktor berikut ini:

  • Pertama, kemampuan bela diri yang mumpuni memberikan legitimasi kepemimpinan dalam masyarakat tradisional yang masih menekankan aspek fisik dalam hierarki sosial.
  • Kedua, penguasaan ilmu bela diri memungkinkan pembentukan pasukan loyal yang menjadi tulang punggung kekuasaan.
  • Ketiga, perguruan silat atau bela diri menjadi pusat jaringan sosial-politik yang memfasilitasi mobilisasi massa dan sumber daya.

Fenomena kemampuan bela diri menjadi modal politik sangat kentara di masa kolonial, di mana beberapa keluarga yang memiliki tradisi bela diri kuat mampu mempertahankan pengaruh mereka melalui negosiasi dengan pemerintah kolonial.

Mereka seringkali diposisikan sebagai perantara antara administrasi kolonial dengan masyarakat lokal, yang pada gilirannya semakin mengukuhkan posisi politik mereka.

Warisan sistem ini masih dapat dilihat dalam dinamika politik lokal saat ini, di mana beberapa dinasti politik masih mempertahankan asosiasi mereka dengan perguruan silat tertentu sebagai bagian dari legitimasi atas dominasi dan kekuasaan mereka.

Ketimpangan Akses Pendidikan Ilmu Bela Diri Alias Baku Hantam Educational Program

Pendidikan baku hantam yang benar dan proper di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi masalah ketimpangan akses. 

Meskipun kemampuan bela diri sering dianggap sebagai skill yang penting untuk dikuasai, tidak semua lapisan masyarakat memiliki peluang yang sama untuk mempelajarinya.

Struktur biaya yang berlaku di perguruan-perguruan bela diri modern menciptakan barrier to entry yang cukup menyulitkan buat sebagian besar masyarakat Indonesia. 

Sebagai ilustrasi, biaya pelatihan di gym-gym mixed martial arts (MMA) atau ilmu bela diri lain yang tersertifikasi secara internasional dan kualitas kurikulumnya bisa dipertanggungjawabkan dapat mencapai Rp 500.000 hingga Rp 1.500.000 per bulan. 

Biaya latihan bulanan ini belum termasuk biaya seragam dan peralatan latihan lainnya yang bisa mencapai jutaan rupiah. 

Dengan pendapatan rata-rata pekerja di Indonesia yang masih di kisaran Rp 5.000.000 per bulan (ini sudah angka yang sangat optimis), alokasi budget untuk pelatihan baku hantam menjadi kemewahan yang sulit dijangkau.

Di sisi lain, orang-orang yang memang berbakat bisa mendapatkan akses sponsorship untuk berlatih secara gratis.

Akan tetapi, orang-orang yang berbakat ini persentase-nya tidak banyak. Mungkin dari satu gym yang berisi 100 member, hanya ada dua sampai lima orang yang bisa dianggap berbakat dan layak untuk menjadi “investasi”.

Sistem sponsorship atau patronase dalam dunia baku hantam, meskipun pada beberapa kasus membuka peluang bagi individu berbakat dari kalangan kurang mampu, justru melanggengkan pola ketergantungan dan ketimpangan struktural. 

Para patron, yang seringkali merupakan tokoh-tokoh berpengaruh atau pengusaha sukses, memiliki kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang mendapat akses ke pelatihan berkualitas. 

Sistem ini, meski tampak sebagai solusi, sebenarnya memperkuat hierarki sosial dan membatasi demokratisasi akses terhadap pendidikan bela diri.

Ketimpangan juga tercermin dalam kesenjangan kualitas antara perguruan bela diri legitimate dengan perguruan informal. 

Perguruan legitimate memiliki akses ke fasilitas modern, pelatih bersertifikasi, dan jaringan kompetisi nasional maupun internasional. 

Sementara itu, perguruan informal yang lebih terjangkau seringkali harus beroperasi dengan fasilitas minimal, pelatih tanpa sertifikasi formal, dan kesempatan berkompetisi yang terbatas. 

Dimensi geografis negara Indonesia yang berupa kepulauan dan tidak merata pembangunannya menambah kompleksitas permasalahan ini. 

Perguruan bela diri berkualitas terkonsentrasi di wilayah perkotaan, menciptakan kekosongan di daerah-daerah pinggiran dan daerah.

Dampak Sistemik Dari Kurangnya Akses Pendidikan Baku Hantam Buat Masyarakat dan Demokrasi

Saat sebagian besar masyarakat tidak bisa bela diri, dampaknya sangat luas dan saling berkaitan. 

Di kehidupan sehari-hari, orang yang tidak bisa bela diri mudah ditindas. 

Contohnya, banyak karyawan terpaksa terima saja ketika diancam di tempat kerja, atau warga biasa yang tidak bisa berbuat apa-apa saat dipalak preman di lingkungan mereka.

Tidak bisa bela diri juga membuat orang jadi hidup dalam ketakutan. 

Banyak warga merasa tidak aman kalau keluar rumah, terutama malam hari.

Ketakutan ini masuk akal – mereka sadar kalau tidak bisa melawan kalau ada yang berniat jahat kepada mereka.

Akibatnya, banyak orang, terutama perempuan, jadi membatasi kemana dan kapan mereka bisa beraktivitas.

Dampaknya juga sampai ke masalah demokrasi. 

Misalnya di sebuah desa, warga tidak berani protes kebijakan kepala desa karena takut dipukuli anak buahnya. 

Atau wartawan yang tidak berani meliput kasus korupsi karena takut dikeroyok.

Ketika orang-orang tidak bisa melindungi diri mereka sendiri, mereka lebih memilih diam meski tahu ada yang salah.

Keadaan jadi lebih buruk karena munculnya kelompok-kelompok yang suka memakai kekerasan untuk mengendalikan masyarakat. 

Orang yang lemah terpaksa cari perlindungan ke orang yang kuat, menciptakan hubungan ketimpangan relasi kuasa yang sulit diputus. 

Ini juga membuat penegakan hukum jadi susah karena saksi-saksi mudah diancam, dan pembayaran “uang keamanan” jadi hal biasa.

Generasi muda adalah kelompok yang paling terkena dampaknya apabila mereka tidak mampu mendapatkan pelatihan bela diri. 

Tanpa latihan bela diri, mereka kehilangan kesempatan untuk membentuk mental yang kuat dan disiplin. 

Di sekolah, mereka gampang jadi korban bullying. 

Lebih parahnya, mereka tumbuh besar tanpa tahu cara melindungi diri, sehingga nanti ketika dewasa pun tetap rentan jadi korban.

Dari sisi ekonomi, dampaknya juga besar. 

Banyak pengusaha kecil terpaksa bayar mahal untuk keamanan atau harus tutup toko lebih cepat. 

Semua masalah ini saling berhubungan dan membuat masyarakat terus-menerus dalam posisi lemah. 

Kalau tidak ada perubahan besar dalam pendidikan baku hantam untuk semua orang, keadaan ini akan terus berlanjut, dan masyarakat akan tetap mudah jadi korban intimidasi dan kekerasan.

Demokratisasi Pendidikan Baku Hantam Untuk Semua

Demokratisasi pendidikan baku hantam agar bisa diakses oleh semua orang bukanlah pekerjaan mudah, tapi bisa dilakukan asal ada niat. 

Langkah pertama yang paling masuk akal adalah mengintegrasikan bela diri ke dalam sistem pendidikan formal. 

Bayangkan setiap anak di Indonesia bisa belajar teknik dasar bela diri sejak SD, sama seperti mereka belajar matematika atau bahasa. 

Guru olahraga bisa dilatih khusus untuk mengajarkan gerakan-gerakan dasar boxing atau bela diri lainnya, sehingga setiap anak punya kesempatan yang sama untuk belajar melindungi diri.

Sekolah, tentu saja, tidak bisa melakukan ini sendirian. Di sinilah peran perguruan bela diri tradisional dan modern menjadi sangat penting. 

Perguruan-perguruan ini bisa diajak bermitra dengan pemerintah untuk membuka pintu lebih lebar bagi masyarakat kurang mampu. 

Misalnya, setiap perguruan bisa menyediakan kuota khusus untuk siswa dari keluarga kurang mampu, dengan biaya latihan yang disubsidi pemerintah. 

Para pelatih dari perguruan ini juga bisa diberdayakan untuk mengajar di sekolah-sekolah, menciptakan jembatan antara pendidikan formal dan dunia persilatan.

Kita perlu juga memikirkan pembangunan fasilitas pelatihan baku hantam yang lebih merata di negara kepulauan ini. 

Setiap kelurahan seharusnya punya minimal satu tempat latihan yang layak. 

Ini bisa dimulai dengan memanfaatkan ruang-ruang publik yang sudah ada, seperti balai warga atau taman kota. 

Dengan sedikit modifikasi dan peralatan dasar, tempat-tempat ini bisa menjadi pusat pelatihan baku hantam yang hidup dan aktif di tengah masyarakat.

Tantangan berikutnya adalah menyiapkan jumlah pelatih berkualitas yang banyak karena Indonesia ini begitu luas. 

Anak-anak muda dari daerah bisa dilatih menjadi pelatih untuk komunitas mereka sendiri. 

Mereka yang sudah mahir bisa mendapat sertifikasi gratis dan insentif untuk mengajar di daerah asal mereka. 

Cara ini tidak hanya menyelesaikan masalah kekurangan pelatih, tapi juga menciptakan lapangan kerja baru di daerah.

Yang tak kalah penting adalah mengubah cara pandang masyarakat tentang ilmu baku hantam. 

Perlu ada penekanan bahwa bela diri bukan sekadar olahraga atau seni bertarung, tapi bagian penting dari pembentukan karakter dan pemberdayaan masyarakat.

Semua ini perlu didukung kebijakan yang kuat dari pemerintah dan yang terpenting dari semua ini adalah konsistensi dan komitmen jangka panjang. 

Perubahan tidak akan terjadi dalam semalam, tapi dengan pendekatan yang sistematis dan dukungan dari semua pihak, demokratisasi ilmu baku hantam di Indonesia bisa dilakukan.

Demokrasi di NKRI: Sebuah Realita Yang Pahit

Meskipun pentingnya pendidikan baku hantam universal untuk khalayak ramai sangat jelas, baik sebagai bentuk pemberdayaan individu maupun perlindungan kolektif, harapan agar hal ini didukung sepenuhnya oleh negara tampaknya masih jauh dari kenyataan. 

Pemerintah Indonesia saat ini, yang didominasi oleh elite oligarki politik dengan keterkaitan kuat pada kepentingan bisnis dan konglomerasi, memiliki sedikit insentif untuk mendorong masyarakat menjadi lebih berani dan mandiri.

Dalam sistem politik seperti ini, masyarakat yang lemah justru dianggap lebih mudah dikendalikan. 

Dalam retorika sehari-hari, demokrasi menjadi slogan yang dijunjung tinggi, tetapi kenyataannya demokrasi di Indonesia belum mencapai tingkat kematangan yang memungkinkan rakyat benar-benar memiliki kuasa atas kebijakan negara.

Pemerintah yang kuat di atas masyarakat yang lemah menciptakan sebuah struktur kekuasaan yang cenderung mendukung status quo ketimbang memperjuangkan pemerataan akses terhadap berbagai inisiatif pemberdayaan seperti akses pelatihan baku hantam.

Jika melihat kondisi saat ini, kita tidak bisa berharap bahwa pendidikan baku hantam yang legitimate dan proper akan didemokratisasikan dalam waktu dekat.

Tanggung jawab ini pada akhirnya kembali ke tangan individu dan komunitas lokal yang peduli akan pentingnya membangun kemampuan untuk membela diri sendiri melawan berbagai hal termasuk kesewenang-wenangan negara dan aparat-aparatnya. 

Namun, tanpa dukungan total dari pemerintah, upaya ini mungkin tidak akan pernah mencapai skala yang dibutuhkan untuk benar-benar mengubah wajah masyarakat Indonesia.

Hans David
Socials:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Copyright © 2025 HansDavidian.com - BJJ Coach at DW BJJ