Apa sudah menonton Spotlight?
Film pemenang Oscar yang didasarkan kisah nyata ini bercerita tentang investigasi yang dilakukan oleh tim wartawan desk investigatif koran Boston Globe atas kasus pemerkosaan anak kecil yang dilakukan oleh para pastur gereja Katholik di Boston.
Hasil penyelidikan tim wartawan Boston Globe mengguncang bukan hanya institusi gereja Katholik di Boston tapi juga di seluruh dunia.
Artikel investigatif yang dihasilkan berhasil menunjukkan bahwa pemerkosaan anak kecil di dalam lingkungan gereja Katholik dilakukan secara masif, sistematis dan dalam skala global.
Investigasi tim wartawan Boston Globe ini bahkan sampai membuat Paus dan Vatikan mengeluarkan permintaan maaf dan pengakuan atas dosa pemerkosaan yang dilakukan secara gila-gilaan oleh para rohaniawannya.
Ada satu adegan yang menarik di film Spotlight ini; ketika tim wartawan berhasil menemukan dan memverifikasi data temuan mereka atas beberapa kasus pemerkosaan yang terjadi di dalam gereja, pemimpin redaksi Boston Globe Marty Baron (yang diperankan Liev Schreiber) merasa temuan mereka belum lengkap dan perlu investigasi lebih dalam lagi.
Baron meminta tim untuk bisa menunjukkan fakta bahwa pemerkosaan yang terjadi bukan hanya skala kecil saja tapi bahwa ada sesuatu yang begitu masif dan secara sistemik tersusun dengan rapi sampai ke tingkatan Vatikan sehingga para pastur-pastur yang memerkosa anak-anak kecil bisa dengan mudahnya melenggang ke paroki atau gereja di daerah lain begitu ada indikasi mereka terkena kasus.
Bagi Baron, temuan dengan skala seperti itu punya implikasi jauh lebih besar dan manfaat bagi publik ketimbang mengekspos sebagian kecil dari puncak gunung es kasus pemerkosaan di lingkungan gereja Katholik.
Walau sempat melalui perdebatan sengit dengan tim, pada akhirnya feeling Baron terbukti benar.
Penyelidikan lebih jauh menunjukkan fakta mencengangkan bahwa terdapat hampir 90an pastur yang bertugas di Boston pernah terlibat kasus pemerkosaan. Lalu ditemukan juga metode sistematis bagaimana Kardinal Boston dan rekan-rekannya di Vatikan mengatur mutasi para pastur-pastur bermasalah ini ke paroki dan gereja di daerah lain untuk mengubur aib yang telah dilakukan mereka.
Temuan-temuan inilah yang akhirnya menjadi bahan serial artikel investigatif Boston Globe yang mengguncang Vatikan.
Dalam konteks jurnalisme di Indonesia, Spotlight berhasil menunjukkan bagaimana pers di sini masih terlalu gagap dan naif dalam meliput kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan.
Saya teringat sebuah kasus beberapa waktu yang lalu. Kasus ini melibatkan seorang sastrawan terkenal bernama Sitok Srengenge.
Sitok pada waktu itu adalah salah seorang kurator dan seniman berpengaruh di pusat kebudayaan paling ngehits di kalangan hipster artsy Jakarta bernama Salihara.
Tapi di balik kementerengan status Sitok, sudah ada desas-desus di kalangan sastra bahwa sang sastrawan akan terkena kasus pemerkosaan dan korbannya, yang diperkosa sampai hamil, sudah siap untuk melaporkan beliau ke kepolisian.
Benar saja, pada akhirnya ada yang melaporkan Sitok ke kepolisian atas tuduhan pemerkosaan.
Saya pada waktu itu masih meliput di desk online dan mengawasi kasus-kasus kriminal yang terjadi di Polda.
Pada awalnya, saya menganggap bahwa kasus Sitok ini cuma kasus pemerkosaan sporadis yang banyak terjadi setiap hari di Jakarta.
Tapi kemudian saya menemukan banyak keanehan; untuk kasus yang melibatkan seorang sastrawan sekelas Sitok, yang lumayan beken, kenapa banyak media yang diam?
Bahkan ada beberapa wartawan yang mengirimkan tulisan tentang dilaporkannya Sitok tidak melihat hasil tulisan mereka dipublish.
Ternyata ada sebuah gerakan sistematis di kalangan editor-editor media yang cukup senior dan berkawan dekat dengan komunitas Salihara yang secara halus dan diam-diam melakukan sensor terhadap berita apapun mengenai kasus Sitok.
Sejak mengetahui dan mengalami sendiri fakta di atas, saya akhirnya belajar bahwa kasus pemerkosaan yang dilakukan Sitok bukanlah kasus biasa.
Ada sesuatu yang sangat sistemis dan terstruktur yang dilakukan oleh entah siapa yang tidak ingin nama Sitok dan Salihara terganggu.
Setelah saya melakukan semacam rage campaign di Twitter yang menunjukkan protes saya atas keroyokan yang dilakukan bapak-ibu editor media kawan Sitok ke korban yang waktu itu tertekan karena trauma, barulah beberapa media mulai berani lebih intens menyorot perkembangan kasus Sitok.
Saya yang waktu itu mengikuti dan mengkover kasus Sitok dari dekat akhirnya mulai menjalin jejaring dengan orang-orang yang memberikan advokasi ke korban.
Dari mereka saya juga mengetahui bahwa korban Sitok bukan hanya satu, tapi ada beberapa.
Ada juga yang sampai sudah punya anak dan telah tinggal selama beberapa tahun di Jawa Tengah tanpa mendapatkan sedikitpun santunan atau kompensasi sekalipun dari Sitok.
Akhirnya beberapa korban ini pun berani mengambil sikap untuk melaporkan Sitok.
Perlu dicatat bahwa sebagian besar kasus pemerkosaan yang dituduhkan ke Sitok terjadi pada saat beliau menjabat sebagai salah satu kurator di Salihara.
Modus beliau memperkosa korbannya kurang lebih sama menurut penuturan para korban; diundang ke kamar kost-nya untuk sama-sama belajar tentang sastra lalu mencekoki korban dengan minuman beralkohol sampai tidak berdaya.
Yang jadi pertanyaan saya pada waktu itu; apa tidak ada satupun pihak di Salihara yang tahu mengenai kebejatan Sitok ini? Bukannya dalam komunitas sempit seperti komunitas sastra, ketika ada anggota yang aneh-aneh bisa dengan cepat tersebar beritanya?
Semakin banyak korban yang melaporkan Sitok atas tuduhan pemerkosaan, semakin terasa pula perlawanan terstruktur dan masif yang dilakukan oleh kawan-kawan Sitok di berbagai jalur media yang dekat dengan Salihara.
Ketika korban pertama melakukan laporan, Goenawan Mohamad, begawan Salihara dan kawan dekat Sitok, entah sengaja atau tidak, membroadcast rilis statement Sitok ke sebuah group chat berisi wartawan-wartawan senior yang menyertakan dengan terang benderang nama korban.
Sungguh sangat mengherankan seorang jurnalis yang katanya cukup senior seperti Goenawan bisa lupa dengan aturan pertama pemberitaan pemerkosaan adalah tidak boleh sekalipun kita menuliskan identitas jelas korban bukan?
Lalu media Tempo, yang dekat dengan Goenawan dan Salihara, beberapa saat setelah korban-korban lain bermunculan mengeluarkan tajuk dengan judul menggelikan; Pantaskah Pemerkosaan Diberitakan?
Tajuk ini ditulis oleh seorang redaktur senior yang membuat saya bertanya-tanya; wartawan-wartawan Tempo yang katanya paling jago se-NKRI itu apa waktu training tidak pernah diberikan pelatihan bagaimana menulis berita kasus kekerasan seksual yah?
Salihara pun mengeluarkan sebuah rilis atas kasus Sitok yang sangat apologetik.
Jika biasanya tokoh-tokoh Salihara tidak ragu-ragu untuk menggunakan nada sarkas atas kasus kekerasan seksual yang dilakukan seorang habib misalnya, untuk kasus Sitok istilah yang mereka gunakan banyak berkaitan dengan azas praduga tidak bersalah dan proses hukum yang berjalan layaknya segerombolan politikus yang sedang membela rekannya yang tersangkut kasus korupsi.
Ada pula icon feminisme Salihara, Ayu Utami, yang sangat diharapkan menjadi the last bastion of common sense di komunitasnya untuk kasus Sitok sama-sama mengeluarkan pernyataan yang maha apologetik di blognya.
Alih-alih menulis “pemerkosaan”, Ayu menulis apa yang dilakukan Sitok dengan bahasa mendayu-dayu nan puitis seperti “hubungan seks yang tidak adil, tidak ditunaikan dengan cara-cara apik dan manusiawi”.
What the fuck is that? A rape is a rape, moron.
Sikap Salihara yang sangat lunak ini tentu memancing kecurigaan; apa memang praktek percabulan paksa di dalam komunitas itu, selama dilakukan oleh anggotanya, adalah sesuatu yang lumrah?
Ada tulisan menarik yang dibuat oleh Julia Suryakusuma, seorang penulis dan aktivis, dan diterbitkan di koran The Jakarta Post edisi 22 Januari 2014 atas kasus Sitok dan mengenai pengaruh Salihara.
Di situ, Julia menuliskan bahwa pada tahun 1996, Goenawan juga pernah terlibat kasus pelecehan seksual.
Untuk lebih jelasnya, saya kutip tulisan Julia di bawah ini:
“The publicity surrounding Sitok’s case has affected Salihara, the cultural center where he had previously worked as a curator until he resigned due to the rape allegations. Since the charges surfaced, the center has been dubbed Salah Arah (misdirected) also because it was cofounded by Goenawan Mohamad (often called GM), noted public intellectual, poet, essayist and a founder of Tempo news magazine, who was also involved in an alleged sexual harrasment case in 1996.
The woman, a pro-democracy activist, managed to escape, but obviously the bitter irony of it was not lost on all the very angry (feminist) activists, when they learned of the case. What ensued was prolonged argument between the feminist pro-democracy camp and the GM camp, which in the end, petered out and came to nothing.
Both the Sitok and GM incidents point to the incidences of sexism and sexual harassment in the pro-democracy movement — an ironic and disturbing ongoing reality. These incidents are also test cases for feminists who for 20 years have wavered and been unclear on their stand on the GM case. First they got angry, then they got confused, and then they gave up.
This weakness was reportedly due to the coaxing and influence of the GM camp, but also due to an inherent weakness in the feminist movement itself.
One feminist even said, “If we attack GM, who will take care of cultural issues?”, as if he had a monopoly on the matter. This weakness is due to the fact that it is hard for feminists to organize and create a solid front because the ties that bind them to their (patriarchal) men are so strong.”
Dari tulisan Julia di atas, ada tersirat bahwa pengaruh Salihara yang luas, bahkan sampai ke gerakan feminisme, membuat tokoh-tokohnya seakan-akan kebal dari hukuman apapun layaknya para pastur predator seksual di Boston yang dilindungi oleh Vatikan.
Pada waktu meliput kasus Sitok pula saya mendapatkan telepon dari salah seorang teman yang punya pengalaman traumatis ketika dia terlibat di dalam komunitas para budayawan yang seharusnya arif tersebut.
Teman saya, seorang perempuan, bercerita tentang bagaimana dia dulu datang ke Jakarta tanpa memiliki uang yang cukup ataupun kenalan yang menampung.
Lewat seorang teman, dia kemudian bisa terlibat di sebuah acara seni yang dilakukan komunitas Salihara dan di sini dia berkenalan dengan seorang budayawan.
Budayawan ini berkenalan dengan sopan dan meminta teman saya untuk menjadi anak angkatnya.
Teman saya yang sebatang kara di Jakarta tentu menyambut baik ajakan ini dan dia pun melihat si budayawan sebagai seorang sosok bapak yang baik hati.
Singkat cerita, teman saya kemudian pindah ke sebuah rumah besar yang dijadikan tempat tinggal sang budayawan.
Di dalam rumah itu ternyata sudah ada dua anak angkat lain dan kedua-duanya perempuan. Latar belakang mereka semua sama; anak sebatang kara yang datang mengadu nasib ke Jakarta.
Selama beberapa minggu, tidak ada yang aneh terjadi di dalam rumah tersebut. Tapi suatu malam, ketika teman saya tertidur, sang budayawan tiba-tiba masuk ke kamarnya dan mulai melakukan perbuatan cabul.
Teman saya berteriak dan mengusir dia.
Keesokan harinya sang budayawan minta maaf dan bilang bahwa dia khilaf.
Teman saya pura-pura memaafkan karena dia curiga bahwa sang budayawan juga melakukan hal yang sama ke anak angkat yang lain.
Teman saya memutuskan untuk tinggal sedikit lebih lama lagi supaya bisa membawa kabur anak angkat yang lain.
Ternyata benar, dua anak angkat lainnya pun secara bergilir diperkosa oleh sang budayawan setiap malam.
Mereka tidak bisa kabur karena secara psikis mereka sudah begitu tertekan dan juga takut karena sang budayawan ternyata memiliki banyak teman orang kuat di dalam pemerintahan.
Akhirnya, ketika teman saya berhasil kabur, dia cuma bisa membawa salah satu anak angkat dari rumah terkutuk tersebut.
Teman saya saat ini sudah punya karir yang bagus dan anak angkat yang berhasil dia selamatkan sudah kembali bersekolah.
Dari tiga kasus di atas yang melibatkan tiga orang yang terafiliasi dengan Salihara – Sitok, Goenawan di 1996 dan seorang budayawan lainnya yang tidak boleh disebut namanya dahulu – tentu timbul pertanyaan; ada apa sih di dalam Salihara?
Belajar dari Spotlight, inilah yang menurut saya harus lebih ditelusuri lebih jauh ke depannya untuk jurnalis-jurnalis yang meliput kasus Sitok ataupun kalau nanti ada kasus baru muncul.
Sudah tidak tepat rasanya kalau nanti yang dikejar hanya satu atau dua individu budayawan yang tersangkut kasus tapi harus juga dilihat apakah sebagai institusi sudah menjadi budaya atau tidak?
Kalau jawabannya ya, maka sungguh sangat mengerikan kalau ternyata pusat kebudayaan nan adiluhung ternyata secara sistematis dan masif mengusung budaya dominasi kekerasan seksual.
Dan kalau itu yang terjadi, maka bisa dilihat secara lebih luas lagi; apakah pemerkosaan dan kekerasan seksual sudah menjadi semacam kultur dalam kehidupan bermasyarakat?
Apa di institusi-institusi lain selain Salihara juga terjadi praktik-praktik percabulan paksa yang ditutup-tutupi oleh para tokoh-tokohnya yang punya pengaruh luas?
Selama ini yang cukup mengganggu saya adalah tentang bagaimana sensitifnya orang Indonesia ketika ada muncul gurauan yang menyerempet atau bertopik pemerkosaan tapi seluruh elemen masyarakat tidak sadar atau mendiamkan ketika pemerkosaan diasosiasikan dengan sikap gagah.
Ada ratusan bahkan ribuan headline di berbagai media yang menulis kejadian pemerkosaan dengan istilah “menggagahi” padahal tidak ada yang gagah dari pemerkosaan.
Istilah ini bertebaran di mana-mana dan hampir sebagian besar orang terdiam melihat hal ini.
Tidaklah mengherankan orang merasa perlu untuk melakukan pemerkosaan biar terlihat gagah toh dengan budaya seperti ini?
Kultur yang mengglorifikasi pemerkosaan ini pun semakin terasa kentara di NKRI ketika hampir selalu terjadi kriminalisasi korban.
Ketika kasus Sitok terjadi, ada seorang feminis liberal yang mengeluarkan pernyataan “kok gak pake kondom?”
Really, bitch?
As if wearing a condom would make a difference when you are being raped.
Lalu sudah sering pula kita lihat bagaimana orang menganggap bahwa perempuan yang diperkosa seharusnya tidak memakai baju seksi yang memancing.
Kalau korbannya lelaki dan diperkosa oleh lelaki maka pandangan masyarakat yang keluar adalah “makanya jangan berteman dengan gay”.
Kalau korbannya lelaki dan pelakunya wanita maka justru sering diberikan ucapan selamat karena dapat “jatah gratisan” padahal pemerkosaan yang dilakukan perempuan kepada lelaki juga menimbulkan efek trauma yang sama beratnya.
Dan akhirnya pada pagi hari ini, saya sampai melongo ternganga melihat judul semacam ini keluar di Tempo:
Saya tidak tahu siapa yang menulis judul itu.
Isinya pun tentang kasus pemerkosaan di India.
Tapi yang membuat saya bingung adalah; dengan judul semacam itu, apa
si penulis atau editor berusaha menyampaikan pesan bahwa ada saat-saat
yang pantas di mana seorang guru boleh memperkosa muridnya?
Judul di atas adalah contoh terakhir bagaimana gagapnya pers kita dalam menyikapi kasus pemerkosaan.
Film Spotlight mempertontonkan kepada kita bahwa ada dimensi yang
lebih luas dari sebuah kasus pemerkosaan dan semoga ke depannya, makin
banyak jurnalis di sini yang menonton Spotlight dan bisa melihat kasus
kekerasan seksual dalam spektrum yang jauh lebih luas dari sekedar
korban dan pelaku.
- Heel Hook Dari Reverse De La Riva-False Reap - March 28, 2024
- Cara Melakukan Choi Bar - March 20, 2024
- Basic Sweep Dari Butterfly Guard - February 16, 2024